RICKY'S BLOG

Selasa, 25 Januari 2011

Tugas HPI

SEJARAH HPI

Masa Kekaisaran Romawi dapat dianggap sebagai awal perkembangan HPI.

Pada masa ini pola hubungan internasional dalam wujud sederhana sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara :


Warga (cives) Romawi dengan penduduk propinsi-propinsi atau Municipia (untuk wilayah di Italia, kecuali Roma) yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena pendudukan. Penduduk asli propinsi-propinsi ini dianggap sebagai orang asing, dan ditundukkan pada hukum mereka sendiri.

Penduduk propinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di wilayah kekaisaran Romawi, sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.Untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan-hubungan tersebut, dibentuk peradilan khusus yang disebut Praetor Peregrinis.
Yang diberlakukan oleh hakim Praetor Peregrinis adalah hukum yang dibuat untuk para cives Romawi, yaitu Ius Civile, tetapi yang telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan “antar bangsa”, yang kemudian berkembang menjadi Ius Gentium.
Ius Gentium terdiri dari :

a.Ius Privatuum, mengatur persoalan-persoalan hukum orang-perorangan.
Ius Privatuum inilah yang menjadi cikal bakal HPI yang berkembang dalam tradisi Eropa Kontinental.

b.Ius Publicum, mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara sebagai kekuasaan publik.
Ius Publicum berkembang menjadi sekumpulan asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara Kekaisaran Romawi dengan negara-negara lain (cikal bakal Hukum Internasional Publik).Prinsip HPI pada masa ini dilandasi asas teritorial, artinya perkara-perkara yang menyangkut warga-warga propinsi tunduk pada Ius Gentium sebagai bagian dari hukum kekaisaran.


KUALIFIKASI TEORY HPI

Di dalam HPI kualifikasi ada bermacam-macam :
1. Kualifikasi Lex Fori; Penganut-penganut dari Lex Fori menyatakan juga bahwa ada pengecualiannya, yaitu mengenai masalah hakekat dari suatu benda, haruslah dikualifikasi berdasarkan Lex Sitae. Keunggulan pemakaian Lex Fori : hakim lebih mengerti hukumnya sendiri. Kelemahan Lex Fori : akan menimbulkan suatu ketidakadilan karena yang diterapkan bukan hukum negaranya sendiri.
2. Kualifikasi Lex Causa; Menurut Suryadi Hartono, kualifikasi berdasarkan Lex Causa sulit diterapkan bila sistem hukum asing tidak lengkap sistem kualifikasinya/ tidak mengenal lembaga hukum tersebut. Oleh karena itu, hakim akan melakukan suatu konstruksi-konstruksi hukum atau suatu analogi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang sejenis, bagaimana penyelesaian hukumnya. Apabila hakim tidak menemukan peristiwa-peristiwa yang sejenis dalam permasalahan maka hakim barulah melakukan kualifikasi berdasarkan Lex Fori.
3. Kualifikasi Bertahap; Kualifikasi ini terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Kualifikasi primer : hakim/forum mempergunakan kualifikasi secara Lex Fori. Kualifikasi ini untuk menemukan Lex Causa.
b. Kualifikasi sekunder : setelah Lex Causa ditemukan maka forum akan menggunakan kualifikasi berdasarkan Lex Causa.
4. Kualifikasi Otonom : Pada kualifikasi ini, forum mempergunakan metode perbandingan hukum. Teori perbandingan hukum ini dilakukan untuk mencari pengertian-pengertian HPI yang dapat berlaku di negara-negara manapun. Oleh karena itu, maka kualifikasi otonom ini sulit dilakukan karena hakim harus mengetahui semua sistem hukum di negara-negara dunia. Tujuan dilakukan kualifikasi otonom adalah menciptakan suatu sistem hukum HPI yang utuh dan sempurna yang memuat konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak dan sempurna. Kualifikasi ini muncul, karena adanya konsep negara supranasional.
5. Kualifikasi HPI : Di dalam kualifikasi HPI bertitik tolak dari adanya pandangan bahwa setiap kualifikasi berdasarkan HPI dianggap mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa hukum. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai di dalam konteks kepentingan HPI mencakup :
a. Untuk kepentingan keadilan dalam pergaulan internasional;
b. Untuk terjadinya kepastian hukum dalam pergaulan internasional;
c. Untuk terjadinya ketertiban dalam pergaulan internasional;
d. Untuk terjadinya kelancaran di dalam lalu lintas pergaulan internasional.
Di dalam kualifikasi HPI, harus ditentukan terlebih dahulu, kepentingan HPI yang mana, yang ingin dicapai di dalam pelaksanaan kualifikasi tersebut.(www.saepudinonline.wordpress.com)

KETERTIBAN UMUM HPI

Ketertiban umum penting karena
Kegen mengatakan bahwa kepentingan umum berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat disentuh dari ketentuan-ketentuan Lex Fori sehingga menyebabkan ketentuan asing yang seharusnya diberlakukan tetapi tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas-asas HPI Lex Fori.
Menurut Sunaryo Hartono mengatakan bahwa, sukar untuk memberikan rumusan apa yang dimaksudkan dengan ketertiban umum, karena hal tersebut berhubungan dengan waktu, tempat dan falsafah negara yang bersangkutan.
Sedangkan Gautama mengatakan bahwa, lembaga kepentingan umum haruslah berfungsi sebagai rem darurat dalam suatu kereta api yang tidak boleh dipergunakan setiap saat. Karena kalau digunakan setiap saat akan mengganggu pergaulan internasional.
Dengan demikian, apakah suatu sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan dalam menyelesaikan masalah HPI harus selalu dipergunakan ? Jawaban-nya tidak, hukum asing tidak selalu dipakai, apabila bertentangan dengan kepentingan umum dari hukum si forum.
Berdasarkan asas tradisional, fungsi dari kepentingan umum, ada dua macam yaitu :
1. Fungsi positip : untuk menjaga agar hukum tertentu dari forum tetap diberlakukan, tidak dikesampingkan sebagai akibat penentuan dari hukum asing yang diberlakukan yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan dari aturan-aturan hukum asing tersebut akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dari asas-asas HPI forum.
2. Fungsi negatip.

Pertanyaan : Apakah hubungan antara Fraus Legis dan Hak-hak yang diperoleh ? Apakah perbedaan antara Fraus Legis dan Ketertiban Umum ?
Baik pada penyelundupan hukum dan kepentingan umum tetap memakai Hukum Lex Fori dengan mengesampingkan hukum asing.
Fraus Legis bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh dengan mengesamping-kan Lex Fori. Perbedaan Fraus Legis dan Kepentingan Umum : pada Fraus Legis seharusnya hukum asing diberlakukan tetapi karena penyelundupan hukum maka tidak dipakai, dan hukum asing tersebut tetap dapat dipakai terhadap perbuatan-perbuatan lain yang bukan penyelundupan hukum. Sedangkan pada Kepentingan Umum, hukum asing yang harus diberlakukan tidak boleh diberlakukan karena bertentangan dengan Lex Fori.
Fraus Legis adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan pemberlakuan sistem hukum tertentu yang seharusnya berlaku, sehingga dengan dilakukannya perbuatan tersebut baginya diberlakukan hukum lain dari yang seharusnya berlaku.
Di Perancis, berlaku suatu Asas Fraus Legis Omnia Corrumpit, artinya suatu perbuatan yang merupakan penyelundupan hukum mengakibatkan perbuatan hukum tersebut secara keseluruhan tidak berlaku atau tidak sah.(www.saepudinonline.wordpress.com)


TEORY HPI MODEREN

TEORI HPI INTERNASIONAL (ABAD KE-19)

Tokoh pencetus teori ini adalah Friedrich Carl v. Savigny di Jerman, sebagai reaksi dari pola fikir Statuta Italia yang dianggap banyak kelemahan.

Savigny mencoba menggunakan konsepsi ‘legal seat’ ini dengan berasumsi bahwa ’untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya, dengan melihat pada hakikat dari hubungan hukum tersebut.

legal seat harus diterapkan lebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuan titik-titik taut, setelah penerapan dengan menghubungkan hukum yang sejenis dapatlah dibentuk asas-asas hukum, dan asas hukum itulah sebagai asas HPI (Pendekatan HPI Von Savigny) yang menurut pendekatan tradisional mengandung titik taut sekunder/penentu yang harus digunakan dalam rangka menetukan lex causae.

Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs)
Perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak (immovable) tunduk pada hukum dari tempat benda itu berada / terletak.
Asas Lex Domicili
Hak dan kewajiban perorangan harus diatur oleh hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
Asas Lex Loci Contractus
Terhadap perjanjian-perjanjian berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian.


HPI DIBIDANG HUKUM KEPERDATAAN


ASAS HPI DALAM HUKUM PERJANJIAN DAN BENDA

1. Lex Rei Sitae ( Lex Situs ): hukum yang berlaku atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda itu terletak atau berada → bias benda bergerak, berwujud, atau tak berwujud.

2. Lex Loci Contractus: terhadap perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian/ tempat dimana perjanjian ditandatangani.

3. Lex Loci Solutionis: hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan.


4. Lex Loci Celebrationis: hukum yang berlaku bagi sebuah perkawinan adalah sesuai dengan hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan.

5. Lex Domicile: hukum yang berlaku adalah tempat seseorang berkediaman tetap/ permanent home.
6. Lex Patriae: hukum yang berlaku adalah dari tempat seseorang berkewarganegaraan.
7. Lex Loci Forum: hukum yang berlaku adalah tempat perbuatan resmi dilakukan. Perbuatan resmi adalah pendaftaran tanah, kapal dan gugatan perkara itu diajukan dan perbuatan hukum yang diajukan.
8.Lex Loci delicti commisi tator:Hukum dari tempat dimana perbuatan melanggar hukum dilakukan

9. Asas choice of law ( pilihan hukum ): hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih berdasarkan para pihak.


PERKAWINAN ANTAR NEGARA


Undang-undang perkawinan R.I No. 1 Tahun 1974, (pasal 59 ayat 2).
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan (pasal 57). Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
1.perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
2.di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda
3.karena perbedaan kewarganegaraan
4.salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogrami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia.
Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.
Syarat-syarat dan pelangsungan Perkawinan Campuran
Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2). Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1).
Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 2). Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat keterang itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut (pasal 60 ayat 3).
Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan upacara akad nikah, sedangkan bagi agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum agamanya itu. Dengan kata lain supaya dapat dilakukan akad nikah menurut agama islam, kedua mempelai harus beragama islam. Supaya dapat dilakukan upacara perkawinan menurut catatan sipil, kedua pihak yang kawin itu harus tunduk ketentuan upacara catatan sipil. Pelangsungan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat.
Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5).
Pencatatan perkawinan campuran
Suatu perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku guna memperoleh akte nikah,sebagai bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah.
Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti, bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi (pasal 60 ayat 1). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi sehingga tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (pasal 60 ayat 2).
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan). Pegawai pencatat yang berwenang bagi yang beragama islam ialah Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedangkan yang bukan beragama islam adalah Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Apabila perkawinan campuran dilangsungkan tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan maka yang melangsungkan perkawinan campuran itu dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan (pasal 61 ayat 2). Pegawai pencatat yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetehui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan dihukum jabatan (pasal 61 ayat 3).
Kewarganegaraan Akibat Perkawinan Campuran
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang ditentukan Undang-undang Kewarganegaraan R.I yang berlaku yaitu UU No. 62 Tahun 1962.
Menurut Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pewarganegaraan diberikan atas permohonan pewarganegaraan kepada Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri.
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan menurut UU ini pemohon harus:
1.Sudah berusia 21 tahun.
2.Lahir dalam wilayah RI, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sekurang-kurangnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut
3.Apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan istri (istri-istrinya);
4.Cukup dapat berbahasa Indonesia dengan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah di hukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik Indonesia dalam keadaan sehat rohani dan jasmani
5. dalam keadaan sehat rohani dan jasmani
6. Membayar pada kas negara antara Rp 500,- sampai Rp 10.000,- yang ditentukan jawatan pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata sebulan
7. Mempunyai mata pencaharian tetap
8. Tidak mempunyai kewarganegaraan/kehilangan kewarganegaraannya apabila ia mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Dalam pasal 8 ayat 1 UU ini bahwa seorang perempuan warga negara R.I yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan R.I nya apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia kehilangan kewarganegaraan R.I itu menjadi tanpa kewarganegaraan.
Seorang (pria/wanita) disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya kehilangan kewarganegaraan R.I ia dapat memperoleh WNI kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu yang harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus, dengan ketentuan setelah perkawinan itu terputus, dengan ketentuan setelah kembali memperoleh WNI nya itu ia tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap (pasal 11 UU NO. 62 Tahun 1958).

1 komentar:

  1. POSTING DI ATAS TADI SEMATA MATA-HANYALAH TUGAS MATA KULIAH SAYA.PADA KANG SAEPUDIN IJIN SEDOT EA ARTIKELNYA,, TRIMA KASIH ATAS PENGERTIANNYA,,,,

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts